Oh shit, niatnya pengen ngerasain puncak Dempo, apa di-nyana rencana tinggallah rencana.
Kita niat bakal naklukin Dempo tepat di awal tahun 2009 (KITA ? lu aja kali, gw jangan dibawa bawa… “kita” yang dimaksud tuh gw, bro agus n adit Pagaralam, paham !) dimana tuh gunung tingginya 3.150 mdpl dan punya dua puncak yaitu puncak dempo yang udah gak aktif dan puncak merapi yang sampai saat ini masih aktif walaupun udah lama tertidur. Rencananya kita akan nge-camp di lapangan diantara dua puncak tersebut.
Start dari kebon 93 PTPN VII (1.900 dpl), yang merupakan perbatasan antara kebon teh PTPN dan kawasan hutan gn. Dempo, sekitar pukul 11:00 dengan peralatan tim kumplit (walaupun boleh minjem :D ), kostum anti dingin OKE dan logistik dijamin bikin gemuk. Kondisi medan sejak awal udah kayak sawah baru dibajak, becek abis ! Maklum, ujan trus turun dan banyak tukang ojek (pendaki) yang liwat jalur ntu. Klop dah, ujan, banyak ojek, buecuek. Ditambah lagi, jalur 93 ini masih terbilang baru (dibuka 3 tahun lalu) sehingga konturnya menanjak terjal dengan vegetasi yang rapat. Dengan melewati jalur ini waktu tempuh ke puncak diperkirakan 5 jam pendakian, sedangkan jika melewati jalur lama (pintu rimba di desa Mekar Jaya) waktu tempuh untuk ke puncak kira kira 8 jam tapi dengan medan yang lebih landai.
Baru menapak tiga puluh menit, bad feeling mulai terjadi, sendalnya bro agus susah diajak kompromi di jalur lumpur kayak gini. Akhirnya dari pada susah jalan, terpaksa tuh sendal naik kasta jadi gelayutan pake tali rapia di pinggang si pengguna. Bad feeling yang ke-2 menyusul dua jam kemudian, tiba tiba gw dan adit (bro agus tertinggal 10 menit dibelakang) diserang sama ujan abu atau “udan awu” sebutan orang sekitar.
Ujan abu merupakan ujan aer biasa yang tercampur sama abu belerang dari semburan gunung berapi. Biar lebih jelas nonton Dante’s Peak. Kadar abu dihujan yang gw terima ini tergolong rendah. Tapi jika terus terusan diguyur beginian lama lama perih juga, apalagi jika kena luka dan mata, wadaw ampun.
Rasa was was mulai timbul nih, “kok gunung yang katanya udah lama tertidur ngeluarin abu belerang dari kawahnya ?”. Tapi karena dibawah kita gak diperingatin macem macem sama kuncen-nya gunung (Mbah Wahadi yang kebetulan masih mbah besan gw), ya kita lanjut terus.
Kira kira selewat shalter 2 (dari 2 shalter, kira kira sudah menempuh 4 jam perjalanan), ada dua orang turun dengan penampilan sekujur tubuh berwarna putih tertutup abu belerang. Mirip dakocan deh, tapi yang ini penampilannya gak lucu melainkan mengenaskan, sekujur tubuh tertutup abu, mata merah (pedih kena belerang kali yah ?), kaki belok lumpur, tanpa ransel (kok pendaki gak bawa ransel yah ?) dan ngos ngosan. Sapa menyapa pun terjadi “turun kak ?”, “iya, situ mau naik ?”, “iya, ini baru mau”, “mending turun aja, kawah merapi nyemburin awan belerang, gelap, yang nge-camp dilapangan pada kena semua, banyak yang turun”, akhirnya dua orang itu turun melewati kita.
Waduh, kok begini, harus rembukan dulu nih. Setelah rembukan akhirnya kita sepakat untuk terus naik. Tapi belum berapa lama melanjutkan perjalanan, turun lagi beberapa orang, tapi kali ini kondisinya masih lebih baik, tanpa comang comeng putih walaupun sama sama ngos ngosan dan penuh lumpur. Komentarnya rada beda “masih aman tapi mending turun”. Kita terus lanjut tapi terus mengalami event yang sama yaitu berpapasan sama orang orang yang turun.
Akhirnya kita memutuskan untuk menghentikan pendakian dan turun setelah ada beberapa orang yang mau turun berpapasan dan mengabarkan bahwa diatas ada satu orang hilang saat lapangan disembur awan belerang. Oke, gak worthed lah kalo naek gunung harus hilang nyawa, lupakan ego, it’s the best for us, lain kali kita coba lagi.
Dalam perjalanan turun kita sempet buka ponco untuk berlindung dari hujan sambil ngisi perut. Selama disini lah kita mendapatkan kabar yang jelas mengenai apa yang terjadi diatas, ternyata sekitar jam 12-an kawah merapi mengeluarkan awan belerang dan menyebabkan kondisi lapangan menjadi gelap dan beberapa pendaki panik. Satu orang yang hilang ternyata rombongan si-dakocan, mereka buru buru turun buat mengabarkan ke jagawana. Banyak pendaki yang panik dan turun tanpa membawa barang-barangnya. Well, keputusan untuk turun kayaknya emang tepat, tapi kalo kita terus lanjut siapa tau bisa mungutin barang barang yang ditinggal, ada hape, tenda, dan sapa tau nemu gps he he he.
Tanpa terasa, stock kopi dan roti udah abis, busyet dah, nih yang pada turun doyan, kelaperan ato mumpung gratisan ? Total yang ngelewatin ponco darurat kita ada sekitar 15-20 pendaki, kopi yang disuguhin sih gak sebanyak itu, tapi segelas bertiga kan masih kerasa angetnya. Itulah indahnya di gunung, setiap pendaki adalah saudara, saling membantu dan menolong tanpa pamrih.
Karena kita gak pengen pulang dengan tangan kosong (minimal ada poto poto kerennya dong), kita mutusin untuk nge-camp di gunung tapi di lokasi yang aman. Oh iya gak lupa juga gw ceritain, kalo malem itu kita diserang sama badai gunung, tenda ditampar-tampar sama angin ribut. Bahkan beberapa kali saat sedang tidur, atap tenda sampai menyentuh wajah kita akibat ditiup angin, tapi abis itu tendanya langsung berdiri lagi seperti sedia kala, Lafuma is the best dah. Dan inilah hasilnya beberapa poto narsis di pagi hari, jreng jreng.
Sampai gw pulang ke Jakarta (ke-esokan harinya), satu orang yang hilang masih belum ditemukan dan dikabarkan ada dua orang pendaki yang turun melalui pintu rimba, tangannya melepuh akibat terkena langsung semburan belerang dan beberapa lainnya ada yang pingsan karena terburu buru turun dan keabisan tenaga. Yuk berdoa untuk keselamatan orang yang hilang itu. (.rak)